REKOMENDASI KE III ATAS KEBIJAKAN DI BIDANG RUMAH SAKIT
REKOMENDASI KE III ATAS KEBIJAKAN DI BIDANG RUMAH SAKIT DALAM RANGKA PENGENDALIAN WABAH COVID-19 & PENGUATAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL
Selama hampir 9 bulan ‘berperang’ melawan pandemi COVID-19, pemerintah dan pihak swasta terus melakukan pembaikan dan penyempurnaan layanannya di bidang kesehatan. Pandemi ini memberikan peluang dan membuka mata banyak pihak untuk lebih fokus membangun sistem kesehatan nasional demi ketahanan nasional. Arti ketahanan ini adalah kemampuan ketahanan nasional dalam menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat dan/atau bencana non-alam akibat wabah penyakit, pandemi global, dan sejenisnya yang berdampak nasional/global. Salah satu elemen penting dalam ketahanan kesehatan adalah penguatan pelayanan rumah sakit dan klinik dengan melibatkan sinergi dan kolaborasi para pihak yang sesuai, serta otomatisasi pelayanan kesehatan secara digital dan peningkatan kapasitas layanan berbasis teknologi kesehatan canggih (seperti digitalisasi di rumah sakit). Kajian ini memuat telaah dan rekomendasi terkait dengan isu tersebut dalam rangka mengendalikan wabah Covid-19 dan mendukung penguatan sistem kesehatan nasional.
Rekomendasi Terkait Tata Kelola dan Tata Laksana Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Salah satu komponen penting dari sistem kesehatan ialah ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang mumpuni, termasuk rumah sakit. Sebelum adanya pandemi COVID-19, ketersediaan rumah sakit merupakan salah satu isu besar sistem kesehatan di Indonesia. Merujuk pada laporan sistem kesehatan Indonesia yang disusun oleh WHO, walaupun telah terjadi peningkatan jumlah ketersediaan rumah sakit baik yang bersifat primer maupun rujukan dalam dua dekade terakhir, namun rasio ketersediaan tempat tidur pada rumah sakit dan puskesmas di Indonesia masih berada di bawah standar WHO dan jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia Pasifik lainnya. Lebih lanjut, ketidakcukupan kapasitas tersebut juga diperburuk dengan disparitas ketersediaan dan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan yang disebabkan kondisi geografis Indonesia.[1] Terkait dengan permasalahan tersebut, pandemi COVID-19 memberikan wake-up call kepada pemerintah dan masyarakat. Memasuki angka kasus konfirmasi positif sebesar 203,342 orang, terdapat kekhawatiran oleh masyarakat dan pemerintah bahwa kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta tidak akan sanggup menampung pasien COVID-19 maupun penyakit lainnya. Terkait dengan permasalahan inti tersebut, kami memetakan berbagai sub-permasalahan berikut rekomendasinya di bidang tata kelola fasilitas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:
Minimnya Partisipasi Swasta Dalam Pembangunan, Penyediaan, dan Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Infrastruktur fisik yang digunakan dalam memberikan layanan kesehatan di Indonesia termasuk di dalamnya rumah sakit, pusat layanan kesehatan, dan berbagai bentuk fasilitas pelayanan kesehatannya lainnya (seperti puskesmas). Terkait dengan investasi pada fasilitas pelayanan kesehatan, investasi atas infrastruktur kesehatan publik seperti rumah sakit yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah saat ini terbatas hanya boleh dilakukan oleh pemerintah. Walaupun terdapat kesempatan partisipasi swasta, namun partisipasi tersebut terbatas pada bentuk Kerja Sama Operasi (KSO) melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dimana ruang lingkup KSO atas penyediaan dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan juga terbatas pada pengadaan alat-alat kesehatan serta tenaga kerja, dan dikecualikan dari pengadaan infrastruktur dan bangunan fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian, pada praktiknya sedikit badan usaha yang berminat berpartisipasi pada skema KPBU tersebut karena dianggap kurang menarik secara komersial.
Terkait dengan investasi swasta khususnya penanam modal asing pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta, pemerintah melalui Daftar Negatif Investasi (DNI) melarang penanaman modal asing pada klinik pratama yang mencakup rumah bersalin, klinik pengobatan umum, jasa kesehatan pemukiman, dan sarana pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian, terdapat peluang bagi penanam modal asing untuk melakukan investasi pada rumah sakit dan klinik utama dengan batasan kepemilikan saham maksimal 67% untuk non-investor ASEAN dan 70% untuk investor ASEAN. Namun demikian, terdapat persyaratan tambahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, dimana investasi sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan pada rumah sakit dengan kapasitas paling sedikit 2000 tempat tidur. Dengan kata lain, investasi asing hanya dapat dilakukan pada rumah sakit besar, dan tidak mencakup rumah sakit kecil hingga menengah.
Terbatasnya partisipasi swasta dalam pembangunan, penyediaan, dan penyelenggaraan fasilitas rumah sakit tentunya menyumbang pada permasalahan terbatasnya kapasitas serta kualitas fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, juga penerapan teknologi pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia, Singapura, dan Jepang, pembatasan atas investasi asing pada sektor rumah sakit di kedua tersebut tidak dilakukan.
Atas permasalahan ini, kami merekomendasikan pemerintah untuk melakukan liberalisasi atas DNI sehingga mencakup investasi pada fasilitas pelayanan kesehatan berupa klinik dan rumah sakit dengan kriteria tertentu (misal: rumah sakit khusus dengan spesialisasi tertentu). Dalam hal pemerintah masih berhati-hati untuk melakukan liberalisasi tersebut, pemerintah dapat melakukan liberalisasi secara khusus kepada negara-negara telah memiliki kerjasama perdagangan dan investasi yang mencakup sektor kesehatan, seperti Australia berdasarkan Indonesia – Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA – CEPA).
Kebutuhan Pembiayaan dan Insentif Dalam Pembangunan, Penyediaan, dan Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Berhubungan dengan penjelasan kami mengenai pentingnya partisipasi sektor privat dalam pembangunan, penyediaan dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan, selain daripada peningkatan kemudahan berusaha dan investasi pada fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif bagi kegiatan usaha yang berhubungan dengan pembangunan, penyediaan, dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan. Didukung dengan masuknya sektor kesehatan dalam agenda prioritas belanja negara dalam RAPBN 2021, maka insentif di sektor kesehatan, khususnya terkait pembangunan, penyediaan, dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perlu diberikan oleh pemerintah, baik yang berbentuk fiskal maupun non-fiskal (fasilitas perpajakan, kemudahan berusaha, serta peningkatan fasilitas investasi). Insentif sebagaimana dimaksud juga wajib mencakup investasi asing yang memiliki kegiatan usaha di sektor fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit. Dengan demikian pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal juga dapat melakukan harmonisasi dengan memasukkan sektor kesehatan, termasuk kegiatan usaha terkait fasilitas pelayanan kesehatan dan rumah sakit ke dalam sektor prioritas investasi. Terkait dengan insentif berupa pembiayaan pemerintah atas fasilitas layanan kesehatan terutama rumah sakit, pemerintah dapat berkaca pada pemerintah Australia, Jepang, dan Singapura dimana pembiayaan dilakukan oleh pemerintah menggunakan sumber dana dari perpajakan.
Minimnya Integrasi Rekam Medis Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Salah satu penyebab inefisiensi tata kelola fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit adalah tidak adanya integrasi rekam medis antar fasilitas pelayanan kesehatan, dimana pasien yang melakukan pengobatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang berbeda tidak dapat mengetahui Riwayat kesehatannya (perlu ada pendaftaran dan pemeriksaan ulang oleh pekerja medis yang bersangkutan. Berkaca pada negara-negara lain seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, India dan Singapura, sistem kesehatan di negara tersebut telah memungkinkan integrasi rekam medis antar fasilitas pelayanan kesehatan secara elektronik. Atas permasalahan mengenai integrasi rekam medis, kami juga merekomendasikan agar Kementerian Kesehatan memfasilitasi penerapan integrasi rekam medis elektronik dan juga menetapkan standar tertentu atas bentuk rekam medis elektronik tersebut sehingga dimungkinkan adanya kompilasi data antar fasilitas pelayanan kesehatan. Namun demikian dalam melaksanakan rekomendasi ini, pemerintah perlu melakukan perubahan atas Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis (Permenkes 269), sehingga dimungkinkan pemberian informasi atas rekam medis elektronik antar fasilitas pelayanan kesehatan secara agile. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu melakukan menerbitkan peraturan mengenai rekam medis elektronik secara khusus sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) Permenkes 269. Pengaturan rekam medis elektronik dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri juga perlu agar pelaksanaan integrasi rekam medis elektronik dilakukan sesuai dengan koridor dan terstandardisasi.
Rekomendasi terkait Digitalisasi Rumah Sakit terhadap Produk dan Layanannya.
Rumah sakit (“RS”) dan klinik di Indonesia menjadi fasilitas utama bagi pasien. Sebelum pandemi terjadi, fasilitas layanan kesehatan tersebut telah memulai proses perbaikan dan penyempurnaan layanannya. Selama pandemi, beban proses tersebut menjadi semakin rumit karena sejumlah alasan, antara lain, semakin tingginya jumlah pasien Covid-19 diiringi semakin meningkat pula kunjungan pasien non-Covid-19 yang datang ke RS.
Problem tersebut perlu ditangani dengan cara apapun, antara lain, dengan meningkatkan adopsi dan adaptasi teknologi kesehatan di RS, khususnya dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (“TIK”), atau kami menyebutkan digitalisasi RS. Secara khusus, teknologi kesehatan adalah semua jenis intervensi yang digunakan dalam bidang kedokteran/kesehatan untuk tujuan promotif, preventif, skrining, penegakan diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan perawatan jangka panjang.[2]
Setiap pengembangan dan adopsi teknologi kesehatan harus mempertimbangkan faktor (i) keamanan, (ii) efikasi;[3] (iii) efektivitas; (iv) keterjangkauan. Digitalisasi sebagai upaya intervensi di bidang kesehatan konsekuensinya harus mengacu sejumlah faktor tersebut. Bahkan UU Rumah Sakit (44/2009) menegaskan bahwa setiap RS wajib melakukan pencatatan dan pelaporan semua kegiatan penyelenggaraan RS dalam bentuk sistem informasi manajemen rumah sakit (“SIMRS”).[4]
Akan tetapi, hal-hal yang menjadi kendala dalam upaya digitalisasi di sektor non-kesehatan juga mempengaruhi perkembangan digitalisasi RS, khususnya belum tersedianya 600 ribu talenta digital per tahun,[5] termasuk profesional berpengalaman dalam teknologi kesehatan (contohnya, biomedical engineer dan clinical engineer). Selain itu, kami mencatat sejumlah sebab belum lancarnya proses digitalisasi RS, antara lain, (1) sebagian RS lebih fokus ke ekspansi fasilitas (seperti tempat tidur dan infrastruktur gedung) dan menganggap enteng transformasi digital sehingga investasi digitalisasi RS rendah;[6] (2) belum banyak pihak yang berkompetisi untuk sistem teknologi digital RS;[7] (3) belum efektifnya interoperabilitas data kesehatan dan kompatibilitas sistem didalamnya di saat semakin banyaknya variasi dan jenis aplikasi yang dibuat atau diadopsi RS (appification boom); (4) problematika konektivitas internet yang belum merata; (5) RS belum memiliki SDM TIK yang cukup, memiliki kompetensi memadai dan rincian tanggung jawab yang jelas. Selanjutnya, kendala relevan lainya adalah minimnya regulasi yang memberikan pedoman pemanfaatan sistem komputasi awan di RS, jumlah minimal programmer TIK di setiap RU untuk menjadi acuan SOP pelayanan RS, pemanfaatan big data di RS, kerahasiaan pelindungan data pribadi dan rekam medis elektronik (“RME”), dan belum jelasnya pengaturan mengenai kegiatan usaha dan sinergi perusahaan teknologi kesehatan digital dengan RS.[8]
Atas dasar itu, kami menawarkan rekomendasi alternatif (khususnya kepada RS) terkait proses digitalisasinya. Pertama: Kerangka kerja digitalisasi RS perlu direncanakan dan didiskusikan bersama tiga sub-organ RS, yaitu sub-organ layanan medis, sub-organ administrasi RS, dan sub-organ TIK RS. Teknologi yang bersifat fungsional perlu diserahkan ke petugas atau unit khusus yang mengemban tanggung jawab tersebut, termasuk menyusun kebijakan strategis pengembangan digitalisasi RS. Tahap perencanaan pada bagian ini perlu didasarkan pandangan holistik yang melihat peluang adopsi teknologi untuk pelayanan klinis. Insinyur yang membidangi arsitektur dan desain perlu terlibat dalam proses perencanaan tersebut. Kegiatan dalam proses perencanaan tersebut, antara lain, analisis kebutuhan teknologi berdasarkan kegiatan layanan klinis, evaluasi kebutuhan fasilitas baru atau renovasi, evaluasi pembiayaan, dan membuat prioritas kerja dimulai dari setiap penyelenggaraan layanan klinis RS hingga prioritas lebih tinggi terhadap keseluruhan layanan dan produk RS.
Kedua: Melakukan pembagian proses digitalisasi RS berdasarkan jenis teknologi layanan RS, yaitu: clinical technologies dan support technologies. Produk teknologi klinis tersebut terdiri dari clinical procedure, medical devices, dan pharmaceutical & other consumable products. Sedangkan, teknologi pendukung tersebut meliputi organization and management system, infratructure & hospital equipment, dan TIK. Setiap komponen tersebut disiapkan dokumen (i) rencana kegiatan tahunan, (ii) rencana proses pengadaan sejak analisis kebutuhan, penilai teknologi, evaluasi fasilitas, pembiayaan, pengaturan prioritas, perencanaan teknologi, pendefinisian spesifikasi teknologi, persiapan tender, publikasi permintaan proposal, penerimaan proposal, evaluasi dan negosiasi, penetapan pemenang, dan penerimaan hasil pekerjaan dan demo kepada manajemen RS, (iii) manajemen aset (termasuk penyimpanan dan distribusi sediaan farmasi), rencana perawatan, (iv) manajemen risiko, yang terdiri dari analisis efisiensi, penerapan standar teknis dan tata kelola, Hazard Identification and Risk Analysis (HIRA) ; (v) rencana edukasi dan pelatihan pengguna/SDM; dan (vi) rencana riset dan pengembangan.
Ketiga: melakukan studi identifikasi kebutuhan (need analysis) berdasarkan pedoman CENETEC (National Center for Health Technology Excellence in Mexico) dan/atau pedoman Needs assessment for medical devices[9] dari WHO (World Health Organization).[10] Analisis kebutuhan tersebut pada intinya didasarkan pada sejumlah kriteria (periksa catatan kaki).[11] Evaluasi keamanan teknologi kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme, antara lain, penggantian atau pembaharuan komponen teknologi tersebut, deteksi keadaan gangguan dan kegagalan operasional (unsafe conditions), menggali hasil studi /riset di bidang klinik dan teknologi, pemberitahuan sewaktu-waktu atau berkala dari penyedia teknologi, Kemenkes, atau lembaga lain, serta hasil analisis risiko internal yang dilakukan oleh RS sendiri.[12] Program komputer yang digunakan RS perlu dilakukan pembaharuan berkala dan konfigurasi ulang (jika perlu) agar keandalan dan keamanan program komputer tersebut terjaga. Jika RS menyimpan data di komputasi awan, maka pastikan penyedia jasa komputasi awan selalu memperbaharui sistem keamanannya dan lulus sertifikasi keamanan sistem elektronik.
Keempat: melakukan studi atas hasil penilaian teknologi kesehatan (health technology assessement atau HTA) yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah atau publikasi lain yang dikeluarkan Kemenkes, Komite HTA, pusat riset kesehatan, kampus, dan studi yang dilakukan rumah sakit lain atau grup RS di dalam dan di luar negeri. Studi tersebut mencakup macro-HTA dan juga micro-HTA (level RS). Tujuan studi adalah untuk mengetahui dan memperbaharui pemahaman adopsi teknologi kesehatan yang efektif, biaya terjangkau, aman, atau sebaliknya. Hasil studi ini digunakan dalam menentukan prioritas digitalisasi RS dan proses pengambil keputusan didalamnya. Penilaian atas program komputer perlu memperhatikan faktor-faktor bahaya didalamnya, antara lain, terkait aspek informasi yang ditransmisikan via jaringan telekomunikasi, kerahasiaan informasi elektronik, jangka waktu upaya pelindungan, dan bahaya lain yang terjadi saat terjadi becana atau keadaan darurat lain.
Kelima: melakukan penghitungan biaya digitalisasi RS. Komponen biaya yang perlu diperhatikan antara lain, harga layanan atau produk, asuransi, pengiriman, jasa implementasi, pengurusan izin atau lisensi hak atas kekayaan intelektual, biaya terkait barang yang habis pakai, biaya perawatan, biaya komponen produk (spare parts), upgrades, pelatihan, memperkerjakan personil baru (hire additional specialised engineers), dan aspek relevan lain seperti inflasi, pajak dan diskon. Penghitungan biaya ini termasuk atas implementasi digitalisasi RS khususnya dalam layanan kesehatan melalui gawai, seperti komunikasi dan konsultasi dengan dokter, pusat informasi dan referensi kesehatan, proses pengambilan keputusan terkait pemberian layanan klinis, manajemen informasi, pendidikan dan pelatihan kesehatan melalui daring, manajemen waktu, akses dan perawatan data rekam medis, serta teknologi terkait monitoring pasien.
Keenam: melakukan prioritasi terkait solusi dan kendala digitalisasi RS berdasarkan sejumlah pertanyaan penting, antara lain: (1) berapa biaya yang diperlukan; (2) berapa banyak personil untuk proses implementasi?; (3) apa sumber daya lain yang dibutuhkan untuk proses tersebut; (4) apakah implementasi ini memerlukan adanya perubahan aturan, pedoman atau kebijakan?; (5) apakah layanan RS lainnya perlu disinkronkan kembali agar implementasi berjalan sebagaimana mestinya?; (6) Apa jenis publikasi yang digunakan untuk implementasi? (7) apakah setiap pihak yang terlibat sudah diidentifikasi, dan jika diperlukan, apakah sudah dilakukan komunikasi dengan mereka; (8) berapa banyak pengguna/pasien yang akan terdampak atau merasakan manfaatnya?; (9) Seberapa materiil akibat implementasi ini terhadap kesehatan, keselamatan dan keadaan baik pengguna/pasien; (10) seberapa cepat implementasi ini bermanfaat/berdampak kepada pengguna dan pihak lain yang relevan?.
CONTACT FOR FURTHER INFORMATION
Endraswari Ening Sayekti – healthcare lawyer
e-mail: endraswari@bahar.co.id
Daniar Supriyadi